BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ensefalitis
adalah infeksi yang mengenai system saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh
virus atau mikroorganisme lain yang nonpurulen. Penyebab tersering dari
ensefalitis adalah virus kemudian herpes simpleks, arbovirus, dan jarang
disebabkan oleh enterovirus, mumps,
dan adenovirus. Ensefalitis bisa juga terjadi pasca infeksi campak, influenza,
varicella, dan pasca vaksinasi pertusis.
Klasifikasi
ensefalitis didasarkan pada factor penyebabnya. Ensefalitis suparatif akut
dengan bakteri penyebab ensefalitis adalah Staphylococcus
aureus, Streptococus, E.Colli, Mycobacterium, dan T.Pallidium.
Sedangkan ensefalitis virus penyebab adalah virus RNA (Virus Parotitis), virus
morbili, virus rabies, virus Rubela, virus dengue, virus polio, cockscakie A
dan B, herpes zoster, herpes simpleks, dan varicella.
B. Rumusan masalah
1.Bagaimana konsep penyakit pada pasien dengan encephalitis
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan
encephalitis.
C. Tujuan
Pembuatan Makalah
1. Tujuan Umum
:
Penulis menyusun makalah ini untuk mendukung kegiatan belajar mengajar
jurusan keperawatan khususnya di mata kuliah keperawatan Neurobihavior II
dengan bahan ajar asuhan keperawatan pada klien Ensefalitis.
2. Tujuan
Khusus :
Untuk mengetahui konsep dasar dari limfedema seperti :
a.
Definisi
b.
Etiologi
c.
Patofisiologi
d.
Komplikasi
e.
Asuhan keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai
macam mikroorganisme (Hassan, 1997). Pada encephalitis terjadi peradangan
jaringan otak yang dapat mengenai selaput pembungkus otak dan medula spinalis.
Ensefalitis adalah infeksi yang
mengenai system saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh virus atau
mikroorganisme lain yang nonpurulen. Penyebab tersering dari ensefalitis adalah
virus kemudian herpes simpleks, arbovirus, dan jarang disebabkan oleh
enterovarius, mumps, dan adenovirus.
Ensefalitis bias juga terjadi pascainfeksi campak, influenza, varicella, dan
pascavaksinasi pertusis.
Klasifikasi ensefalitis didasarkan
pada factor penyebabnya. Ensefalitis suparatif akut dengan bakteri penyebab
ensefalitis adalah Staphylococcus aureus,
Streptococus, E.Colli, Mycobacterium, dan
T.Pallidium. Sedangkan ensefalitis
virus penyebab adalah virus RNA (Virus Parotitis), virusmorbili, virus rabies,
virus Rubela, virus dengue, virus polio, cockscakie A dan B, herpes zoster,
herpes simpleks, dan varicella.
B. Etiologi
Berbagai
macam mikroorganisme dapat menimbulkan Ensefalitis:
1.
bakteria, protozoa, cacing, jamur,
spirochaeta, dan virus. Bakteri penyebab Ensefalitis adalah Staphylococcus
aureus, streptokok, E. Coli, M. Tuberculosa dan T. Pallidum. Encephalitis
bakterial akut sering disebut encephalitis supuratif akut (Mansjoer, 2000).
2.
Penyebab
lain adalah keracunan arsenik dan reaksi toksin dari thypoid fever, campak dan
chicken pox/cacar air.
3.
Penyebab
encephalitis yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi
karena virus langsung menyerang otak, atau reaksi radang akut infeksi sistemik
atau vaksinasi terdahulu.Klasifikasi encephalitis berdasar jenis virus serta
epidemiologinya ialah:
Infeksi virus yang bersifat endemic
a.
Golongan
enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
b. Golongan virus Arbo : Western equine
encephalitis, St. Louis encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B
encephalitis, Russian spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.
Infeksi
virus yang bersiat sporadik : rabies, Herpes simpleks, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis, dan jenis lain yang
dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
Encephalitis
pasca-infeksi : pasca-morbili, pasca-varisela, pasca-rubela, pasca-vaksinia,
pasca-mononukleosis infeksius, dan jenis-jenis lain yang mengikuti infeksi
traktus respiratorius yang tidak spesifik. (Robin cit. Hassan, 1997)
C. Tanda dan
Gejala
1. Suhu yang mendadak naik, seringkali
ditemukan hiperpireksia
2. Kesadaran dengan cepat menurun
3. Muntah
4. Kejang-kejang, yang dapat bersifat
umum, fokal atau twitching saja (kejang-kejang di muka)
5. Gejala-gejala serebrum lain, yang
dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misal paresis atau paralisis,
afasia, dan sebagainya (Hassan, 1997)
6. Perubahan perilaku
7. Gelisah
Inti dari sindrom Ensefalitis adalah adanya demam
akut, dengan kombinasi tanda dan gejala : kejang, delirium, bingung, stupor
atau koma, aphasia, hemiparesis dengan asimetri refleks tendon dan tanda
Babinski, gerakan involunter, ataxia, nystagmus, kelemahan otot-otot wajah.
D. Patofisiologi
Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran napas, dan
saluran cerna. Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh
tubuh dengan beberapa cara :
1.
Lokal :
virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer : virus
masuk ke dalam darah, kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ
tersebut.
3.
Penyebaran
melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di perukaan selaput lendir dan
menyebar melalui system persarafan.
Setelah terjadi penyebaran ke otak terjadi manifestasi
klinis ensefalitis. Masa prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam,
sakit kepala, pusing, muntah nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremitas, dan
pucat. Suhu badan meningkat, fotofobia, sakit kepala, muntah-muntah, kadang
disertai kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen. Pada anak, tampak
gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai gangguan
penglihatan, pendengaran, bicara, serta kejang. Gejala lain berupa gelisah,
rewel, perubahan perilaku, gangguan kesaadaran, kejang. Kadang-kadang disertai
tanda neurologis fokal berupa afassia, hemiparesis, hemiplagia, ataksia, dan
paralisis saraf otak.
E. Komplikasi
Komplikasi
pada ensefalitis berupa :
1. Retardasi mental
2. Iritabel
3. Gangguan motorik
4. Epilepsi
5. Emosi tidak stabil
6. Sulit tidur
7. Halusinasi
8. Enuresis
G. Pemeriksaan
Penunjang
1. Lumbal pungsi (pemeriksaan CSS)
a. Cairan warna jernih
b. Glukosa normal
c. Leukosit meningkat
d. Tekanan Intra Kranial meningkat
2. Protein agak meningkat
3.
Kultur
darah/ hidung/ tenggorokan/ urin
a. Sukar oleh karena uremia berlangsung
singkat
b. Dapat membantu mengidentifikasikan
daerah pusat infeksi dan penyebab infeksi
4.
CT
Scan/ MRI
Membantu melokalisasi lesi, melihat
ukuran/ letak ventrikel, hematom, daerah cerebral, hemoragic, atau tumor.
H. Penatalaksanaan
1. Isolasi bertujuan mengurangi
stimulus/rangsangan dari luar dan sebagai tindakan pencegahan.
2. Terapi antimikroba, sesuai hasil
kultur Obat yang mungkin dianjurkan oleh dokter :
a.
Ampicillin
: 200 mg/kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis
b. Kemicetin : 100 mg/kgBB/24 jam,
dibagi 4 dosis
c.
Bila
encephalitis disebabkan oleh virus (HSV), agen antiviral acyclovir secara
signifikan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas HSV encephalitis.
Acyclovir diberikan secara intravena dengan dosis 30 mg/kgBB per hari dan
dilanjutkan selama 10-14 hari untuk mencegah kekambuhan (Victor, 2001).
d. Untuk kemungkinan infeksi sekunder
diberikan antibiotika secara polifragmasi.
3. Mengurangi meningkatnya tekanan
intracranial, manajemen edema otak
a.
Mempertahankan
hidrasi, monitor balans cairan; jenis dan jumlah cairan yang diberikan
tergantung keadaan anak.
b. Glukosa 20%, 10 ml intravena
beberapa kali sehari disuntikkan dalam pipa giving set untuk menghilangkan edema
otak.
c.
Kortikosteroid
intramuscular atau intravena dapat juga digunakan untuk menghilangkan edema
otak.
4. Mengontrol kejang Obat
antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Obat yang diberikan
ialah valium dan atau luminal.
a.
Valium
dapat diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali.
b. Bila 15 menit belum teratasi/kejang
lagi bia diulang dengan dosis yang sama.
c.
Jika sudah
diberikan 2 kali dan 15 menit lagi masih kejang, berikan valium drip dengan
dosis 5 mg/kgBB/24 jam.
5. Mempertahankan ventilasi
Bebaskan jalan nafas, berikan O2 sesuai kebutuhan (2-3l/menit).
6. Penatalaksanaan shock septik
7. Mengontrol perubahan suhu lingkungan
8. Untuk mengatasi hiperpireksia,
diberikan kompres pada permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya
pada kiri dan kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan di
atas kepala. Sebagai hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari
dan phenergan 4 mg/kgBB/hari secara intravena atau intramuscular dibagi dalam 3
kali pemberian. Dapat juga diberikan antipiretikum seperti asetosal atau
parasetamol bila keadaan telah memungkinkan pemberian obat per oral. (Hassan,
1997)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Biodata
Umur :
Penyakit ensefalitis dapat menyerang semua usia, insiden tertinggi terjadi pada
anak-anak
Jenis
kelamin : Penyakit ensefalitis bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan
Bangsa :
Umumnya untuk penyakit ensefalitis tidak mengenal suku bangsa, ras.
2.
Keluhan utama
a.
Demam
b.
Kejang
3. Riwayat
kesehatan sekarang
Demam,
kejang, sakit kepala, pusing, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremitas,
pucat, gelisah, perubahan perilaku, dan gangguan kesadaran.
4. Riwayat
kesehatan dahulu
Klien
sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah menderita
penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung,telinga dan tenggorokan.
5. Riwayat
penyakit keluarga
Keluarga ada
yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh: Herpes dll. Bakteri
contoh : Staphylococcus Aureus, Streptococcus , E Coli dan lain-lain.
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1.
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
a.
Kebiasaan.
Sumber air yang dipergunakan dari PAM atau sumur, kebiasaan buang air besar di
WC, lingkungan penduduk yang berdesaan (daerah kumuh)
b. Status Ekonomi. Biasanya menyerang
klien dengan status ekonomi rendah.
2. Pola fungsi
kesehatan
a.
Pola nutrisi dan metabolisme. Nafsu makan menurun (anoreksia) nyeri
tenggorokan dan Berat badan menurun.
b. Pola
aktivitas. Nyeri ekstremitas dan keterbatasan rentang gerak akan mempengaruhi
pola aktivitas.
c.
Pola istirahat dan tidur. Kualitas dan kuantitas akan berkurang oleh
karena demam, sakit kepala dan lain-lain, yang sehubungan dengan penyakit
ensefalitis.
d. Pola
eliminasi. Kebiasaan
Defekasi sehari-hari, Biasanya pada klien Ensefalitis karena klien tidak dapat
melakukan mobilisasi maka dapat terjadi obstivasi. Kebiasaan BAK sehari-hari,
Biasanya pada klien Ensefalitis kebiasaan miksi normal frekuensi normal. Jika
kebutuhan cairan terpenuhi. Jika terjadi gangguan kebutuhan cairan maka
produksi irine akan menurun ,konsentrasi urine pekat.
e.
Pola hubungan dan peran. Efek penyakit yang diderita terhadap peran yang diembannya
sehubungan dengan ensefalitis, bisanya Interaksi dengan keluarga / orang lain
biasanya pada klien dengan Ensefalitis kurang, karena kesadaran klien menurun
mulai dari apatis sampai koma.
f.
Pola penanggulangan stress. Akan cenderung mengeluh dengan keadaaan
dirinya (stress).
Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anmnesis yang
mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk
mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
persistem (B1-B6) dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain)
yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pemeriksaan fisik dumulai dengan
memeriksa tanda-tanda vital (TTV) pada klien ensefalitis biasanya didapatkan
peningkatn suhu tubuh lebih dari normal 39-49°C. Keadaan ini biasanya
dihubungkan dengan proses inflamasi dari selaput otak yang sudah menggangu pusat
pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan
tanda-tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan
sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi
pada system pernapasan sebelum mengalami ensefalitis. TD biasanya normal atau
meningkat berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
a. B1 (Breathing)
Inspeksi
apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien
ensefalitis yang sering disertai adanya gangguan pada system pernapasan.
Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi
napas tambahan sperti ronkhi pada klien dengan ensefalitis berhubungan akulasi
sekreet dari penurunan kesadaran.
b. B2 (Blood)
Pengkajian
pada system kardiovaskular didapatkan renjatan (syok) hipovolemik yang sering
terjadi pada klien ensefalitis.
c.
B3 (Brain)
Pengkajian
B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada system lainnya.
1. Tingkat Kesadaran
Pada keadaan
lanjut tingkat kesadaran klien ensefalitis biasanya berkisar pada tingkat
letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan.
2. Fungsi Serebri
Status
mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara
klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik. Pada klien
ensefalitis tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
3. Pemeriksaan Saraf Kranial
1) Saraf I. Fungsi
penciuman biasanya tidak ada kelainan pada klien ensefalitis
2) Saraf II. Tes ketajaman
penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan
terutma pada ensefalitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural
yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK.
3) Saraf III, IV, dan VI.
Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien ensefalitis yang tidak disertai
penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut ensefalitis yang
telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil
akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien ensefalitis mengeluh
mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya.
4) Saraf V. Pada klien
ensefalitis didapatkan paralisis pada otot sehingga mengganggu proses
mengunyah.
5) Saraf VII. Persepsi
pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis
unilateral.
6) Saraf VIII. Tidak
ditemukan adanya tuli kondungtif dan tuli persepsi.
7) Saraf IX dan X. Kemampuan
menelan kurang baik sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
8) Saraf XI. Tidak ada
atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usaha dari klien untuk
melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.
9) Saraf XII. Lidah
simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecap normal.
10) Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol
keseimbangan dan koordinasi pada ensefalitis tahap lanjut mengalami perubahan.
4. Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan
reflex dada, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex
pada respons normal. Reflex patologis akan didapatkan pada klien ensefalitis
dengan tingkat kesadaran koma.
5. Gerakan Involunter
Tidak
ditemukan adanya teremor, Tic, dan distonia. Pada keadaan tertentu klien
biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan ensefalitis disertai
peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan
dengan ensefalitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang
peka.
6. Sistem Sensorik
Pemeriksaan
sonsorik pada ensefalitis biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan
nyeri normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan
tubuh, perasaan diskriminatif normal.
Peradangan
pada selaput otak mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali pada
ensefalitis. Tanda tersebut adalah kaku kuduk, yaitu ketika adanya upaya untuk
fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.\
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan
pada system perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume keluaran urine,
hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung
ke ginjal.
e.
B5 (Bowel)
Mual sampai
muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi
pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
f.
B6 (Bone)
Penurunan
kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu orang
lain.
B. Diagnosa
Keperawatan Yang Sering Terjadi
1. Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan
terhadap infeksi turun.
2. Resiko tinggi perubahan perfusi
jaringan b/d Hepofalemia, anemia.
3. Resiko tinggi terhadap trauma b/d
aktivitas kejang umum.
4. Nyeri b/d adanya proses infeksi yang
ditandai dengan anak menangis, gelisah.
5. Gangguan mobilitas b/d penurunan
kekuatan otot yang ditandai dengan ROM terbatas.
6. Gangguan asupan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah.
7. Gangguan sensorik motorik
(penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan susunan saraf pusat.
8. Gangguan rasa nyaman berhubungan
dengan sakit kepala mual.
9. Resiko gangguan integritas kulit b/d
daya pertahanan tubuh terhadap infeksi turun.
10. Resiko terjadi kontraktur b/d
spastik berulang.
C. Intervensi
1. Diagnosa Keperawatan I.
Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan
tubuh terhadap infeksi turun
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil: Masa penyembuhan
tepat waktu tanpa bukti penyebaran infeksi endogen.
Intervensi :
a.
Pertahanan
teknik aseptic dan teknik cuci tangan yang tepat baik petugas atau pengunmjung.
Pantau dan batasi pengunjung.
R/. menurunkan resiko px terkena infeksi sekunder. mengontrol penyebaran Sumber infeksi, mencegah pemajaran pada individu yang mengalami nfeksi saluran nafas atas.
R/. menurunkan resiko px terkena infeksi sekunder. mengontrol penyebaran Sumber infeksi, mencegah pemajaran pada individu yang mengalami nfeksi saluran nafas atas.
b. Abs. suhu secara teratur dan
tanda-tanda klinis dari infeksi.
R/. Deteksi dini tanda-tanda infeksi merupakan indikasi perkembangan Meningkosamia .
R/. Deteksi dini tanda-tanda infeksi merupakan indikasi perkembangan Meningkosamia .
c.
Berikan
antibiotika sesuai indikasi R/. Obat yang dipilih tergantung tipe infeksi dan
sensitivitas individu.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN II
Resiko tinggi terhadap trauma b/d
aktivitas kejang umum.
Tujuan : Tidak terjadi trauma
Kriteria hasil : Tidak mengalami
kejang / penyerta cedera lain
Intervensi :
a.
Berikan
pengamanan pada pasien dengan memberi bantalan, penghalang tempat tidur tetap
terpasang dan berikan pengganjal pada mulut, jalan nafas tetap bebas. R/.
Melindungi px jika terjadi kejang, pengganjal mulut agar lidah tidak tergigit.
Catatan: memasukkan pengganjal mulut hanya saat mulut relaksasi.
b. Pertahankan tirah baring dalam fase
akut. R/. Menurunkan resiko terjatuh / trauma saat terjadi vertigo.
c.
Kolaborasi.
Berikan obat sesuai indikasi seperti delantin, valum dan sebagainya.R/.
Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang.
d. Abservasi tanda-tanda vital R/.
Deteksi diri terjadi kejang agak dapat dilakukan tindakan lanjutan.
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN III
Resiko terjadi kontraktur b/d kejang
spastik berulang.
Tujuan : Tidak terjadi kontraktur.
Ktiteria hasil : Tidak terjadi
kekakuan sendi. Dapat menggerakkan anggota tubuh.
Intervensi :
a.
Berikan
penjelasan pada ibu klien tentang penyebab terjadinya spastik, terjadi
kekacauan sendi R/. Dengan diberi penjelasan diharapkan keluarga mengerti dan
mau membantu program perawatan.
b. Lakukan latihan pasif mulai ujung
ruas jari secara bertahap R/. Melatih melemaskan otot-otot, mencegah kontraktor.
c.
Lakukan
perubahan posisi setiap 2 jam R/. Dengan melakukan perubahan posisi diharapkan
perfusi ke jaringan lancar, meningkatkan daya pertahanan tubuh.
d. Observasi gejala kaerdinal setiap 3
jam R/. Dengan melakukan observasi dapat melakukan deteksi dini bila ada
kelainan dapat dilakukan intervensi segera.
e.
Kolaborasi
untuk pemberian pengobatan spastik dilantin / valium sesuai Indikasi R/. Diberi
dilantin / valium , bila terjadi kejang spastik ulang.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah di atas dapat disimpulkan :
a.
Ensefalitis adalah
infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme (Hassan, 1997). Pada
encephalitis terjadi peradangan jaringan otak yang dapat mengenai selaput
pembungkus otak dan medula spinalis.
b. Etiologi : Virus, Bakteri, dan
Jamur.
Berbagai macam mikroorganisme dapat
menimbulkan Ensefalitis, misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur,
spirochaeta, dan virus. Bakteri penyebab Ensefalitis adalah Staphylococcus
aureus, streptokok, E. Coli, M. Tuberculosa dan T. Pallidum.
c.
Inti dari
sindrom Ensefalitis adalah adanya demam akut, dengan kombinasi tanda
dan gejala : kejang, delirium, bingung, stupor atau koma, aphasia, hemiparesis
dengan asimetri refleks tendon dan tanda Babinski, gerakan involunter, ataxia,
nystagmus, kelemahan otot-otot wajah.
d. Patofisiologi : Virus masuk tubuh
klien melalui kulit, saluran napas, dan saluran cerna. Setelah masuk ke dalam
tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh.
e.
Manifestasi
klinis : Masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari, ditandai dengan demam,
sakit kepala, pusing muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremitas, dan
pucat. Kemudian di ikuti tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari
ditribusi dan luas lesi pada neuron.
f.
Komplikasi
pada ensefalitis berupa :
1. Retardasi mental
2. Iritabel
3. Gangguan motorik
4. Epilepsi
5. Emosi tidak stabil
6. Sulit tidur
7. Halusinasi
DAFTAR PUSTAKA
v Rahman M, Petunjuk Tentang Penyakit,
Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium, Kelompok Minat Penulisan Ilmiah Kedokteran
Salemba, Jakarta, 1986.
v Sacharian, Rosa M, Prinsip
Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta ,1993.
v Arif mansjoer suprohaita,penerbit
fakultas kedokteran universitas indonesia,kapita selekta kedokteran,edisi 2
jilid 3,jakarta,2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar